BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Avian
influenza (AI) atau flu burung (bird flu) atau sampar unggas (flow plague) adalah
suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan
ditularkan oleh unggas. Flu burung pertama kali ditemukan menyerang di italia
sekitar 100 tahun yang lalu. Pada mulanya penyakit ini hanya menyerang unggas
mulai ayam ,merpati sampai burung-burung liar akan tetapi,laporan terakhir
menyebutkan serangan pada manusia.
Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus
avian infuenza jenis H5N1 pada unggas di konfirmasikan telah terjadi di
Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China,
Indonesia dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan
transportasi unggas yang terinfeksi.
Flu burung merupakan salah satu jenis penyakit yang penularannya dapat
dengan mudah menyebar melalui perantara udara. Pertama kali kasus penyakit flu
burung ini ditemukan di suatu daerah di negara Hongkong, serta mulai menyebar
luas di kawasan negara-negara di benua Asia, seperti China, Taiwan, Myanmar dan
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Penyebaran yang begitu cepat ini
dipengaruhi oleh salah satu faktor alam yaitu tiupan arah mata angin.
Bersamaan pada saat penyakit flu burung ini ditemukan di Hongkong, pada
saat itu pula kondisi cuaca disana sangat mendukung bagi virus avian influenza
untuk menyebar ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Bahwasannya, pada
saat itu kelembaban udara di Hongkong sedang tinggi dan disertai hembusan angin
yang cukup kencang, sehingga penyebaran
virus flu burung begitu merebak.
Kondisi cuaca yang tidak tentu akhir-akhir ini menyebabkan penyebaran flu
burung terus meluas hingga ke benua Afrika dan Eropa. Dari kawasan Asia
Tenggara, avian influenza (jenis virus yang menyebabkan wabah flu burung) ini
menyebar melalui tiupan angin yang mengarah tepat ke negara-negara di benua
Eropa.
Namun virus ini ternyata tidak begitu bersahabat dengan kondisi
lingkungan di Eropa, karena kelembaban udara yang terlalu tinggi sehingga tidak
mendukung proses perkembangbiakannya. Sedangkan di Afrika yang didominasi iklim
tropis ini membuat avian influenza dapat berkembang dengan cepat, dan banyak menginfeksi
jenis unggas terutama burung.
Sedangkan di Indonesia sendiri, ditemukannya penyakit flu burung ini
disinyalir berasal dari tiupan angin dari negara-negara di kawasan Asia
Tenggara dan banyaknya burung dari benua Afrika yang bermigrasi ke Indonesia.
Kebanyakan burung yang bermigrasi ke Indonesia ini telah terinfeksi oleh avian
influenza dan salah satu hal yang menyebabkannya bermigrasi ke Indonesia karena
Indonesia memiliki SDA yang menjadi bahan makanan bagi burung ini. Justru
setelah dilakukan penelitian, ternyata penyebab merebaknya penyakit flu burung
di Indonesia ini disebabkan oleh burung migran ini. Apalagi iklim Indonesia
yang sangat kondusif bagi perkembangan virus avian influenza (iklim tropis dan
sub tropis) menyebabkan penyebaran flu burung begitu cepat ke seluruh kawasan
Indonesia. Bahkan hingga saat ini Indonesia menjadi salah satu negara yang
memiliki korban flu burung terbesar di dunia.
Kasus flu
burung di Indonesia sejak tahun 2005 sampai tanggal 5 Juli 2010 sebanyak 166
kasus dan 137 diantaranya meninggal dunia.
Kasus flu burung banyak terjadi pada tahun 2006 dengan 55 kasus dan 45
diantaranya meninggal dunia. Ditahun berikutnya kasus mulai menurun, namun
berdasarkan data WHO pada bulan Juli 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
kasus dan kematian tertinggi. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut :
Data Jumlah Kumulatif Kasus Flu Burung
pada Manusia di Dunia
Berdasarkan Laporan WHO per 5 Juli
2010
Negara
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Jumlah
|
|||||||||
K
|
M
|
K
|
M
|
K
|
M
|
K
|
M
|
K
|
M
|
K
|
M
|
K
|
M
|
K
|
M
|
K
|
M
|
|
Azerbaijan
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
8
|
5
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
8
|
5
|
Banglades
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
Kamboja
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
4
|
2
|
2
|
1
|
1
|
1
|
0
|
1
|
0
|
1
|
1
|
10
|
8
|
Cina
|
1
|
1
|
0
|
0
|
8
|
5
|
13
|
8
|
5
|
3
|
4
|
4
|
7
|
4
|
1
|
1
|
39
|
26
|
Djibouti
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
Mesir
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
18
|
10
|
25
|
9
|
8
|
4
|
39
|
4
|
19
|
7
|
109
|
34
|
Indonesia
|
0
|
0
|
0
|
0
|
20
|
13
|
55
|
45
|
42
|
37
|
24
|
20
|
21
|
19
|
4
|
3
|
166
|
137
|
Irak
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
2
|
Laos
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
2
|
Myanmar
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
Nigeria
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
1
|
Pakistan
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
1
|
Thailand
|
0
|
0
|
17
|
12
|
5
|
2
|
3
|
3
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
25
|
17
|
Turki
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
12
|
4
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
12
|
4
|
Vietnam
|
3
|
3
|
29
|
20
|
61
|
19
|
0
|
0
|
8
|
5
|
6
|
5
|
5
|
5
|
7
|
2
|
119
|
59
|
Total
|
4
|
4
|
46
|
32
|
98
|
43
|
115
|
79
|
88
|
59
|
44
|
33
|
73
|
32
|
31
|
13
|
500
|
296
|
Bila dilihat
pada tabel diatas, terlihat bahwa Indonesia menempati peringkat pertama kasus
tertinggi di dunia dan Vietnam berada pada peringkat kedua. Bila dibandingkan
dengan Vietnam, kematian akibat flu burung di Indonesia masih tinggi dan
Vietnam mampu menekan jumlah kasus dan kematian sejak tahun 2005. Bila
dibandingkan dengan Thailand, kasus di Thailnad hanya terjadi selama 3 tahun
(2004-2006) dan setelah itu tidak terjadi kasus flu burung lagi.
Melihat
kasus dan kematian akibat flu burung melalui perbandingan data tersebut diatas
maka kita perlu mengetahui lebih lanjut tentang upaya apa yang dilakukan oleh
Vietnam dan Thailand dalam upaya penanggulangan flu burung oleh pemerintah
negaranya masing-masing dan dibandingkan dengan Indonesia. Apalagi Thailand
secara geografis berbatasan dengan Indonesia. Sehingga dengan perbandingkan
tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran sehubungan dengan kasus dan
kematian flu burung yang terjadi.
B.
RUMUSAN MASALAH
Makalah ini disusun untuk menjawab rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya penanggulangan flu burung
di Vietnam dan Thailand ?
2. Bagaimanakah upaya penanggulangan flu burung
di Indonesia bila dibandingkan dengan Vitenam dan Thailand ?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui upaya penanggulangan flu
burung di Vietnam dan Thailand
2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan flu
burung di Indonesia, dan membandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh Vietnam
dan Thailand
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Flu burung adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus influenza yang menyerang burung/unggas/ayam Salah satu
tipe yang perlu diwaspadai adalah yang disebabkan oleh virus influenza dengan
kode genetic H5N1 (H= Haemagglutinin, N= Neuramidase) yang selain dapat menular
dari burung ke burung ternyata dapat pula menular dari burung ke manusia.
B. PENYEBAB
Penyebab flu burung adalah virus influenza
tipe A . Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus
influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan
dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari
Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi
kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis
H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada binatang H1-H5 dan
N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe
A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220
C dan lebih dari 30 hari pada 00 C. Virus akan mati pada pemanasan 600 C selama
30 menit atau 560 C selama 3 jam dan dengan detergent, desinfektan misalnya
formalin, serta cairan yang mengandung iodine.
Virus jenis H5N1 dikenal
sebagai virus flu burung yang paling membahayakan yang telah menginfeksi baik
manusia ataupun hewan. Virus yang juga dikenal dengan A(H5N1) ini merupakan
virus epizootic (penyebab epidemik di mahluk non manusia) dan juga panzootic
(yang dapat menginfeksi binatang dari berbagai spesies dari area yang sangat
luas.
Virus HPAI A (H5N1)
pertama kali diketahui membunuh sekawanan ayam di Skotlandia pada
tahun 1959, namun virus yang muncul pada saat itu sangat berbeda dengan virus
H5N1 pada saat ini. Jenis dominan dari virus H5N1 yang muncul pada tahun 2004
berevolusi dari virus yang muncul pada tahun 2002 yang menciptakan gen tipe Z.
Virus H5N1 dibagi menjadi
2 jenis turunan, turunan yang pertama adalah virus yang menginfeksi manusia dan
burung yang ada di Vietnam, Thailand, Kamboja dan burung yang ada di Laos dan
Malaysia. Jenis turunan pertama ini tidak menyebar ke daerah lain.
Sedangkan yang turunan
jenis 2 dikenali dari burung yang ada di China,
Indonesia, Jepang, dan Korea Utara yang kemudian menyebar ke Timur
Tengah, Eropa dan Afrika. Virus jenis turunan ke 2 ini adalah virus yang
menjadi penyebab infeksi ke manusia yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2006 di
berbagai Negara. Analisa genetik yang telah dilakukan membuktikan bahwa ada 6
jenis subklas dari turunan jenis ke 2, yang 3 diantaranya tersebar dan
menginfeksi manusia di Negara-negara berikut ini :
Subklas 1 : Indonesia
Subklas 2 : Eropa, Timur Tengah
dan Afrika
Subklas 3 : China
H5N1
sebenarnya adalah jenis virus yang menyerang reseptor galactose yang ada pada
hidung hingga ke paru-paru pada unggas yang tidak ditemukan pada manusia, dan
serangan hanya terjadi disekitar alveoli yaitu daerah daerah di paru-paru
dimana oksigen disebarkan melalui darah. Oleh karena itu virus ini tidak
gampang disebarkan melalui udara saat batuk atau bersin seperti layaknya virus
flu biasa.
Sejak
pertama kali ditemukan pada tahun 1997, peneliti menemukan bahwa virus H5N1 terus berevolusi dengan melakukan perubahan di zat
antigen dan struktur gen internal yang kemudian dapat menginfeksi beberapa
spesies yang berbeda.
Virus
yang pertama kali ditemukan di Hongkong pada tahun 1997 dan 2001 tidak mudah
ditularkan dari burung satu ke lainnya dan tidak menimbulkan penyakit yang
mematikan pada beberapa binatang. Namun pada tahun 2002, jenis baru virus H5N1
muncul, dikenal dengan virus H5N1 tipe gen Z yang menjadi tipe gen dominan,
yang menyebabkan penyakit akut pada populasi burung di Hongkong, termasuk
disfungsi neurologi dan kematian pada bebek dan jenis unggas lainnya.
Virus
dengan tipe gen inilah yang menjadi epidemic di Asia Tenggara yang menyebabkan
kematian jutaan ekor ayam dan dari 2 sub klas yang tercipta akibat mutasi virus
yang selalu berubah telah menimbulkan korban ratusan manusia yang meninggal
dunia. Mutasi yang terjadi dari jenis virus ini meningkatkan patogen virus yang
dapat memperparah serangan virus ke berbagai spesies dan ditakutkan nantinya
mampu menularkan virus dari manusia ke manusia lainnya. Mutasi tersebut terjadi
di dalam tubuh burung yang menyimpan virus dalam jangka waktu lama di dalam
tubuhnya sebelum akhirnya meninggal akibat infeksi.
Mutasi
yang terjadi pada virus H5N1 merupakan karakteristik jenis virus influenza,
dimana virus tersebut mampu mengkombinasikan jenis 2 jenis virus influenza yang
berbeda yang berada dalam 1 jenis reseptor pada saat yang bersamaan.
Kemampuan
virus untuk bermutasi menghasilkan jenis yang mampu menginfeksi berbagai jenis
spesies adalah karena adanya variasi yang ada di dalam gen hemagglutinin.
Mutasi genetik dalam gen hemaglutinin menyebabkan perpindahan asam amino yang
pada akhrinya dapat mengubah kemampuan protein dalam hemagglutinin untuk
mengikat reseptor dalam permukaan sel.
Mutasi
inilah yang dapat mengubah virus flu burung H5N1 yang tadinya tidak dapat
menginfeksi manusia menjadi dapat dengan mudah menular dari unggas ke manusia.
Oleh karena itu peneliti sekarang sedang giat-giatnya mencoba memahami sifat
virus ini dan berusaha melakukan rekayasa genetika dengan memasukkan 2 asam
amino virus flu spanyol H1N1 ke dalam hemaglutinin H5N1 sehingga nantinya virus
H5N1 tidak menjadi pandemik yang membahayakan manusia seperti yang terjadi pada
wabah tahun 1918.
Penelitian
itu membuahkan hasil yang menggembirakan dimana objek penelitian dapat tetap
sehat meskipun ditempatkan dalam 1 ruangan bersama objek yang sakit.
C. GEJALA
Gejala
flu burung dapat dibedakan pada unggas dan manusia.
1.
Gejala pada
unggas.
-
Jengger berwarna biru
-
Borok dikaki
-
Kematian mendadak
2.
Gejala pada
manusia.
Virus Flu Burung yang pada awalnya
diketahui hanya bisa menular antar sesama unggas, menciptakan mutasi baru yang
dapat juga menyerang manusia. Mutasi virus ini dapat menginfeksi manusia yang
berkontak langsung dengan sekresi unggas yang terinfeksi. Manusia yang memiliki
resiko tinggi tertular adalah anak-anak, karena memiliki daya tahan tubuh yang
lebih lemah, pekerja peternakan unggas, penjual dan penjamah unggas, serta
pemilik unggas peliharaan rumahan.
Masa inkubasi virus adalah 1-7 hari
dimana setelah itu muncul gejala-gejala seseorang terkena flu burung adalah
dengan menunjukkan ciri-ciri berikut :
1.
Menderita
ISPA
2.
Timbulnya
demam tinggi (> 38 derajat Celcius)
3.
Sakit
tenggorokan yang tiba-tiba
4.
Batuk,
mengeluarkan ingus, nyeri otot
5.
Sakit
kepala
6.
Lemas
mendadak
7.
Timbulnya
radang paru-paru (pneumonia) yang bila tidak mendapatkan penanganan tepat dapat
menyebabkan kematian
Mengingat gejala Flu burung mirip
dengan flu biasa, maka tidak ada yang bisa membedakan flu burung dan flu biasa.
Jika ada penderita yang batuk, pilek dan demam yang tidak kunjung turun, maka
disarankan untuk segera mengunjungi dokter atau rumah sakit terdekat.
Penderita yang diduga mengidap virus
Flu burung disebut penderita suspect flu burung dimana penderita pernah
mengunjungi peternakan yang berada di daerah yang terjangkit flu burung, atau
bekerja dalam laboratorium yang sedang meneliti kasus flu burung, atau
berkontak dengan unggas dalam waktu beberapa hari terakhir.
Kasus probable adalah kasus dimana
pasien suspek mendapatkan hasil tes laboratorium yang terbatas hanya mengarah
pada hasil penelitian bahwa virus yang diderita adalah virus jenis A, atau
pasien meninggal karena pneumonia gagal.
Sedangkan kasus kompermasi adalah kasus
suspek atau probable dimana telah didukung dengan hasil pemeriksaan
laboratorium yang menunjukkan bahwa virus flu yang diderita adalah positif
jenis H5N1, PCR influenza H5 positif dan peningkatan antibody H5 membesar 4
kalinya.
Namun, gejala yang dimunculkan oleh
virus H5N1 ini berbeda-beda dimana ada kasus seorang anak laki-laki yang
terinfeksi virus H5N1 yang mengalami diare parah dan diikuti dengan koma
panjang tanpa mengalami gejala-gejala seperti influenza, oleh karena itu
pemeriksaan secara medis penting dilakukan terutama bila mendapati timbulnya
gejala penyakit yang tidak wajar
D. MASA
INKUBASI
-
Pada Unggas : 1 minggu
- Pada Manusia : 1-3 hari , Masa infeksi 1
hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada dasarnya
dilakukan untuk menilai keadaan kesehatan pasien dan juga untuk mendeteksi
bakteri/virus apa yang menyerang pasien tersebut. Pemeriksaan untuk menilai
keadaan kesehatan antara lain dengan menilai kadar leukosit, fungsi hati,
fungsi ginjal, dan yang penting juga analisis gas darah arteri.
Pada pemeriksaan
ini, antara lain, akan dapat diketahui berapa kadar oksigen (O2) dan
karbondioksida (CO2) di darah pasien. Kalau oksigennya rendah, nilai normalnya
berkisar 85-95 mmHg, dan atau karbondioksidanya tinggi, nilai normalnya 35-45
mmHg, maka dapat terjadi keadaan gawat napas. Dari data yang ada, sebagian
besar pasien flu burung meninggal karena gawat napas akut ini.
Upaya menemukan
virus flu burung dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologi untuk menilai
respons antigen antibodi dan atau mengisolasi virusnya sendiri. Pada kasus flu
burung juga dapat dijumpai peningkatan titer netralisasi antibodi dan dapat
pula dilakukan analisis antigenik dan genetik, antara lain untuk mengetahui
apakah sudah ada mutasi dari virus tersebut.
Kedua pasien di
Hongkong (tahun 1999) menjalani pemeriksaan ELISA (enzyme liknk immuno sorbent
assay), cairan saluran hidung tenggorok.
Ternyata positif influenza A. Pada kedua kasus ini juga dilakukan kultur pada
cairan saluran hidung tenggorok yang menunjukkan positif influenza A (H9N2).
Pada kasus yang
terjadi di Hongkong (tahun 1997), diagnosis infeksi virus H5N1 dipastikan
dengan ditemukannya virus. Lokasi diisolasinya virus ini ada pada usap
tenggorok, cairan yang diisap daritrakea,
aspirat saluran hidung tenggorok, dan ada pula virus yang ditemukan dari cairan bronko
alveolar yang didapat dengan
pemeriksaan bronkoskopi (memasukkan alat ini ke paru pasien).
BAB III
EPIDEMIOLOGI
A. SUMBER PENULARAN
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A
yang menyebar antar unggas. Virus ini kemudian ditemukan mampu pula menyebar ke
spesies lain seperti babi, kucing, anjing, harimau, dan manusia.
Virus influenza tipe A memiliki beberapa subtipe
yang ditandai adanya Hemagglutinin (H) dan Neuramidase (N). Ada 9 varian H dan
14 varian N. Virus flu burung yang sedang berjangkit saat ini adalah subtipe
H5N1 yang memiliki waktu inkubasi selama 3-5 hari.
B. PENULARAN
Burung
liar dan unggas domestikasi (ternak) dapat menjadi sumber penyebar H5N1. Di
Asia Tenggara kebanyakan kasus flu burung terjadi pada jalur transportasi atau
peternakan unggas alih-alih jalur migrasi burung liar.
Virus ini
dapat menular melalui udara ataupun kontak melalui makanan, minuman, dan
sentuhan. Namun demikian, virus ini akan mati dalam suhu yang tinggi. Oleh
karena itu daging, telur, dan hewan harus dimasak dengan matang untuk
menghindari penularan. Kebersihan diri perlu dijaga pula dengan mencuci tangan
dengan antiseptik. Kebersihan tubuh dan pakaian juga perlu dijaga.
Virus
dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Bahan makanan yang didinginkan atau
dibekukan dapat menyimpan virus. Tangan harus dicuci sebelum dan setelah
memasak atau menyentuh bahan makanan mentah.
Unggas
sebaiknya tidak dipelihara di dalam rumah atau ruangan tempat tinggal.
Peternakan harus dijauhkan dari perumahan untuk mengurangi risiko penularan.
Tidak
selamanya jika tertular virus akan menimbulkan sakit. Namun demikian, hal ini
dapat membahayakan di kemudian hari karena virus selalu bermutasi sehingga
memiliki potensi patogen pada suatu saat. Oleh karena itu, jika ditemukan hewan
atau burung yang mati mendadak pihak otoritas akan membuat dugaan adanya flu
burung. Untuk mencegah penularan, hewan lain di sekitar daerah yang berkasus
flu burung perlu dimusnahkan.dan dicegah penyebarannya
C. Pencegahan
1.
Pada Unggas :
a)
Pemusnahan
unggas/burung yang terinfeksi flu burung
b)
Vaksinasi pada
unggas yang sehat
2.
Pada Manusia :
a)
Kelompok berisiko
tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang)
ü Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi
sehabis bekerja.
ü Hindari kontak langsung dengan ayam atau
unggas yang terinsfeksi flu burung.
ü Menggunakan alat pelindung diri. (contoh :
masker dan pakaian kerja).
ü Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.
ü Membersihkan kotoran unggas setiap hari.
ü Imunisasi.
b)
Masyarakat umum
1)
Menjaga daya
tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi & istirahat cukup.
2)
Mengolah unggas
dengan cara yang benar, yaitu :
ü Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat
gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)
ü Memasak daging ayam sampai dengan suhu ± 800C
selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu ± 640C selama 4,5 menit.
D.
Pengobatan
Pengobatan bagi
penderita flu burung adalah:
a.
Oksigenasi bila
terdapat sesak napas.
b.
Hidrasi dengan
pemberian cairan parenteral (infus).
c.
Pemberian obat
anti virus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari.
d.
Amantadin
diberikan pada awal infeksi , sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama selama
3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2 dosis. Bila berat badan
lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari.
E. Tindakan Departemen Kesehatan
Dalam rangka
mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh flu burung, Departemen Kesehatan
mengambil beberapa tindakan, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.
Melakukan
Investigasi pada pekerja, penjual dan penjamah produk ayam di beberapa daerah
KLB flu burung pada ayam di Indonesia (untuk mengetahui infeksi flu burung pada
manusia)
b.
Melakukan
monitoring secara ketat terhadap orang-orang yang pernah kontak dengan orang
yang diduga terkena flu burung. hingga terlewati dua kali masa inkubasi yaitu
14 hari.
c.
Menyiapkan 44
rumah sakit di seluruh Indonesia untuk menyiapkan ruangan observasi terhadap
pasien yang dicurigai mengidap Avian Influenza.
d.
Memberlakukan
kesiapsiagaan di daerah yang mempunyai resiko
e.
Menginstruksikan
kepada Gubernur pemerintah propinsi untuk meningkatkan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjangkitnya flu burung di wilayah
masing-masing
f.
Meningkatkan
upaya penyuluhan kesehatan masyarakat dan membangun jejaring kerja dengan
berbagai pihak untuk edukasi terhadap masyarakat agar masyarakat tetap waspada
dan tidak panik
g.
Meningkatkan
koordinasi dan kerjasama dengan departemen pertanian dan pemerintah daerah
dalam upaya penanggulangan flu burung
h.
mengumpulkan
informasi yang meliputi aspek lingkungan dan faktor resiko untuk mencari
kemungkinan sumber penularan oleh tim investigasi yang terdiri dari Depkes,
Deptan dan WHO.
F. BAHAYA PANDEMI
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menandai awal terjadinya
pandemi:
•
Sebuah virus subtipe HA, yang tidak pernah menyerang manusia minimal satu
generasi, kini muncul (atau muncul kembali) dan
•
Menginfeski serta mengalami replikasi secara efisien dalam tubuh manusia dan
•
Secara mudah menyebar dan bertahan dalam populasi manusia. Ini menunjukkan
bahwa ancaman terjadinya pandemi influensa baru pada manusia bukanlah secara
khusus terkait dengan minculnya HPAI H5N1. Sebegitu jauh,
H5N1 hanya memenuhi dua dari tiga syarat di atas: artinya, untuk
sebagian besar umat manusia ada subtipe baru dan sudah menular serta
menimbulkan penyakit yang berat dan sangat mematikan, dengan kematian yang l40
kasus sampai sat ini.
Pada sebagian besar manusia tidak ada kekebalan terhadap virus
sejenis H5N1. Sebuah pandemi baru sudah di ambang pintu seandainya H5N1 garis
Asia berhasil memperoleh sifat-sifat yang memungkinkan ia dapat menular secara
efisien dan bertahan dari manusia ke manusia. Baik sifat-sifat itu diperoleh
melalui adaptasi secara berangsur ataupun melalui reasortasi dengan virus yang
sudah beradaptasi dalam tubuh manusia (Guan 2004). Secara in vitro sudah
dibuktikan bahwa dua pertukaran asam amino yang berlangsung simultan yang
terjadi pada reseptor tempat penggabungan protein HA dari virus HPAI H5N1 garis
Asia (Q226L dan G228S) mengoptimalkan ikatannya kepada reseptor tipe 2-6 pada
manusia seperti yang dimiliki oleh virus influenas A yang sudah beradaptasi
dalam tubuh manusia (Harvey 2004). Gambaryan et al (2006) berhasil
mengidentifikasi dua isolat virus manusia yang berasal dari ayah dan anak
laki-lakinya yang telah terinfeksi H5N1 di Hong Kong pada tahun 2003, yang
berbeda dengan semua isloat H5N1 lainnya yang diperoleh dari manusia dan
unggas, menunjukkan afinitas yang lebih tinggi terhadap resseptor 2-6 akibat
telah terjadi mutasi S227N secara unik pada tempat penggabungan di reseptor
HAI. Pandemi mungkin kini sudah di ambang pintu, atau bahkan sudah terjadi
ketika anda membaca naskah ini. Tidak seorang pun dapat meramalkannya. Kemungkinan
hal seperti itu terjadi berkorelasi langsung dengan jumlah virus yang beredar
di unggas, dan dengan demikian juga berarti dengan besarnya kemungkinan manusia
terpapar. Oleh karena itu keberhasilan membasmi H5N1 pada sumbernya akan
menurunkan risiko pandemi oleh virus ini. Ada perkiraan, yang dibahas di email dan
juga berbagai forum diskusi, bahwa cukup dengan investasi sebesar 10% dari dana
yang disediakan untuk mengembangkan vaksin manusia yang spesifik H5, akan
mempunyai efek yang lebih besar jika digunakan untuk membasmi H5N1 pada unggas
dalam upaya mencegah wabah H5N1 pada manusia. Sejak pertama kali H5N1 dapat
diisolasi dari manusia di tahun 1997, virus ini belum berhasil menyelesaikan
langkah terakhir (yaitu menyebar secara mudah serta mampu bertahan pada
manusia) dalam memenuhi tiga syarat di atas untuk dapat menjadi pandemi di
kalangan manusia. Tetapi penelitian mutakhir belum lama ini menunjukkan bahwa
dari tahun ke tahun virulensi H5N1 pada mamalia makin meningkat dan jenis
penjamu pun makin meluas:
H5N1 yang diisolasi dari bebek domestik yang nampak sehat di
daratan China dari tahun 1999 sampai 2002, dan juga di Vietnam sejak 2003 secara
preogresif makin patogenik terhadap mamalia (Chen 2004).
H5N1 telah memperluas jenis penjamu, dan secara alami telah
menulari dan membunuh beberapa spesies mamalia (kucing, harimau) yang sebelumnya
dianggap resisten terhadap infeksi virus influensa unggas.
Meskipun demikian, jangan sampai kita lengah karena sementara kita
terlalu memusatkan perhatian kepada situasi H5N1 di Asia, virus influensa lain
yang mungkin lebih mempunyai potensi untuk menimbulkan pandemi dapat saja
muncul. Misalnya beberapa strain dari subtipe H9N2 yang sebelum tahun
1980-an belum ditemukan di Asia, kini bukan saja mulai meluas di antara
populasi unggas di Asia tetapi juga telah melintas ke populasi babi di bagian
tenggara dan timur China (Shortridge 1992, Peiris 2001, Xu 2004). Reseptor dari
virus-virus ini menunjukkan kesamaan dalam ciri-ciri spesifiknya dengan virus
yang telah beradaptasi dengan manusia (Li 2005b, Matrosovich 2001). Viru-virua
H9 ini mempunyai penjamu yang luas, dan secara genetik beragam serta dapat
secara langsung menginfeksi manusia. Strain H9N2 yang telah menginfeksi
manusia di Hong Kong, malah menunjukkan gentipe yang dekat dengan genotipe
virus H5N1 tahun 1997 (Lin 2000).
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian masuknya kasus flu burung di Indonesia diduga
berasal dari tiupan angin dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan
banyaknya burung dari benua Afrika yang bermigrasi ke Indonesia. Kebanyakan
burung yang bermigrasi ke Indonesia tersebut ini telah terinfeksi oleh avian
influenza dan salah satu hal yang menyebabkannya bermigrasi ke Indonesia karena
Indonesia memiliki sumber daya alam yang menjadi bahan makanan bagi burung ini
dan iklim Indonesia yang sangat kondusif bagi perkembangan virus avian
influenza (iklim tropis dan sub tropis) menyebabkan penyebaran flu burung
begitu cepat ke seluruh kawasan Indonesia.
Melihat proses masuknya virus flu burung ke Indonesia maka upaya
penanggulangan flu burung harus melibatkan kerjasama lintas sector khususnya
yang berhubungan dengan peternakan. Karena dengan merebaknya kasus flu burung
ini memberikan dampak terhadap perekonomian khususnya disektor peternakan yang
mengalami kerugian ratusan juta karena unggas terjangkit virus flu burung dan
harus dimusnahkan. Pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk mengganti
unggas yang dimusnahkan, biaya vaksinasi bagi unggas/ayam yang lainnya agar
tidak tertular flu, biaya untuk pengawasan unggas dan sebagainya.
Disamping pengendalian flu burung yang penularannya dari unggas ke unggas
maka pengendalian flu burung dari unggas ke manusia menjadi sangat penting
untuk dilakukan karena akan menimbulkan wabah bahkan pandemic yang dapat meluas
secara cepat. Kasus flu burung pada manusia di Indonesia pada tahun 2005 telah
mengakibatkan kematian sebanyak 13 orang dari 20 orang yang menderita flu
burung positif atau CFR nya sebesar 65 %. Pada tahun selanjutnya kasus flu
burung terus meningkat, seperti yang terlihat pada tahun 2006 jumlah kematian
akibat flu burung sebanyak 45 orang dari 55 kasus dengan CFR sebesar 82%. Pada
tahun 2007, CFR sebesar 88% (37 kematian dari 42 kasus) dan tahun 2008 dengan
CFR sebesar 83% ( 20 kematian dari 24 kasus). Dan pada tahun 2009, CFR
meningkat menjadi 90% dengan 19 kematian dari 21 kasus.
Pada tabel pada bab I terlihat bahwa upaya penanggulangan flu burung di
Vietnam dan Thailand mampu menekan dan menurunkan kasus dan kematian lebih
cepat dan lebih rendah dari tahun ke tahun. Gambaran perbandingan CFR flu
burung Indonesia, Thailand dan Vietnam dapat dilihat pada tabel berikut :
Negara
|
CFR (%)
|
||||||||
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Ket
|
|
Indonesia
|
0
|
0
|
65
|
82
|
88
|
83
|
90
|
75
|
|
Vietnam
|
100
|
69
|
31
|
0
|
63
|
83
|
100
|
29
|
|
Thailand
|
0
|
71
|
40
|
100
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|
Melihat gambaran perbandingan diatas nampak bahwa upaya penanggulangan
flu burung di Vietnam dan bahkan Thailand lebih berhasil dibanding Indonesia.
Untuk itu perlu diketahui lebih lanjut kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh
masing-masing negara terhadap penanggulangan flu burung.
Pemerintah di Thailand, Vietnam,
Kamboja, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, telah memerintahkan pembunuhan
massal ayam untuk memerangi penyebaran virus itu. Vietnam telah menghabisi
lebih dari tiga juta ayam dan Thailand lebih dari tujuh juta ayam. Thailand
mengerahkan tentara dan ratusan narapidana untuk membunuhi ratusan ribu ayam.
Dengan rakyat biasa terlalu takut untuk mendekati ayam, sebanyak 400 tentara
dikerahkan ke propinsi yang terdapat kasus flu burung. Berjangkitnya penyakit
flu burung itu telah memukul industri ekspor ayam Thailand, terutama para
peternak kecil.
Upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Thailand dan Vietnam dalam
pembunuhan massal ayam/unggas telah berhasil atau setidaknya menurunkan kasus
flu burung. Kebijakan dinegara tersebut juga dengan melibatkan tentara dan
narapidana yang diperintahkan khusus untuk membasmi ayam yang dapat menjadi
sumber penularan flu burung. Dalam konteks pemberantasan penyakit menular jika
sumber penularan dapat dihilangkan maka maka penularan penyakit dengan
sendirinya akan terhenti.
Dibandingkan dengan Indonesia, untuk pembasmian unggas secara massal sulit
dilakukan. Kebijakan untuk membasmi unggas telah dikeluarkan tapi sulit
dilaksanakan karena terkait penggantian/ganti rugi terhadap unggas yang tidak
pasti, terdapat pula penolakan dari sebagian kelompok masyarakat karena kurang
maksimalnya sosialisasi dan edukasi oleh pemerintah. Hal inilah yang
meningkatkan kasus dan kematian flu burung pada manusia karena kemungkinan
masih ada unggas yang sudah terjangkit flu burung tapi tidak dideteksi atau
tidak dimusnahkan. Sehingga hingga tahun 2010 masih terdapat kasus flu burung
dan kematian pada manusia.
Peningkatan kasus flu burung ini karena sulitnya melakukan pengawasan
terhadap unggas dan tidak semua unggas yang berada pada lokasi unggas
terjangkit tidak segera dimusnahkan. Disamping itu kontak antara manusia dan
unggas yang masih tinggi dan sulit diawasi atau dikendalikan sehingga kasus flu
burung terus meningkat. Sebagian besar kasus flu burung pada manusia berakhir
dengan kematian walaupun sudah mendapat penanganan yang intensif di rumah
sakit.
Upaya penanggulangan flu burung dilakukan oleh pemerintah telah dilakukan
dengan strategi memfokuskan pengendalian penyakit pada unggas dan
penatalaksanaan kasus pada manusia yang menderita flu burung. Selama masih ada
unggas yang terkena flu burung atau endemic disuatu daerah maka potensi
penularan atau nerjangkit ke manusia masih tinggi. Untuk itu juga dilakukan
surveilans epidemiologi pada unggas dan manusia. Dan memberikan perlindungan
terhadap kelompok yang berisiko tinggi yaitu kepada kelompok atau orang yang
sering kontak dengan unggas seperti peternak.
Upaya pengendalian lainnya yang penting adalah dengan meningkatkan
komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat luas secara terus menerus
tentang gejala flu burung, tindakan/atau respon cepat yang harus dilakukan
masyarakat jika mendapatkan gejala flu burung baik pada unggas atau manusia.
Edukasi kepada masyarakat juga lebih difokuskan kepada kelompok-kelompok
berisiko agar penularan flu burung dari unggas ke manusia dapat diminimalkan.
Karena luasnya dampak yang ditimbulkan dari penularan flu burung ini maka
pemerintah harus membangun jejaring kerjasama dengan berbagai pihak khususnya
yang memiliki kapasitas dalam upaya penanggulangan flu burung ini. Dengan
kuatnya jejaring yang terbangun ini maka diharapkan meningkatkan kesiapsiagaan
diberbagai sector dan masyarakat dan mempercepat langkah-langkah penanggulangan
secara terpadu jika terjadi peningkatan kasus flu burung bahkan jika terjadi
pandemic flu burung.
Telah diketahui bersama bahwa flu burung telah memberikan dampak yang
luas terhadap kehidupan perekonomian masyarakat dan kesehatan masyarakat itu
sendiri. Untuk itu kewaspadaan dan kesiapsiagaan harus terus dilakukan,
mengingat flu burung penularannya sangat cepat dari segi waktu dan tempat yang
menimbulkan kerugian yang besar dan berdasarkan data kematian akibat flu burung
di Indonesia di atas 80%.
Saat ini kasus flu burung sudah menurun dan bahkan tidak terdapat lagi.
Tetapi kasus flu burung masih berpotensi terjadi secara tiba-tiba. Untuk itu
pada saat inilah saatnya dilakukan kegiatan peningkatan kapasitas bagi
petugas-petugas yang terlibat disetiap sector khususnya yang terkait dengan
surveilans pada unggas dan manusia serta pada penanganan penderita secara cepat
dan tepat. Surveilans dilakukan secara berjenjang mulai pada tingkat paling
bawah yakni masyarakat. Didaerah-daerah yang pernah dengan riwayat penularan
harus terus menerus meningkatkan kewaspadaan dan daerah-daerah yang berhubungan
secara epidemiologi.
BAB V
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
1. Upaya yang dilakukan di Vietnam dan Thailand
dalam penanggulangan flu burung dengan memerintahkan pembasmian unggas/ayam
secara massal dengan melibatkan tentara dan narapidana untuk bertugas membantu
mempercepat pemusnahan unggas.
2. Upaya penanggulangan flu burung yang dilakukan
di Indonesia dalam pembasmian unggas secara massal tidak dilakukan dengan
berbagai kendala, sehingga penularan masih terus terjadi
3. Angka CFR flu burung di Indonesia pada tahun
2005 65 %, tahun 2006 sebesar
82%, tahun 2007 sebesar 88%, tahun 2008 sebesar 83%, dan pada tahun 2009, CFR meningkat menjadi 90%
4. Flu burung telah menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar khususnya pada sector peternakan dan berdampak ke kesehatan
seperti menurunnya tingkat konsumsi daging unggas sehingga dapat memberikan
dampak pada gizi masyarakat
B. SARAN
1. Perlunya mengambil tindakan cepat dalam
memusnahkan secara massal unggas pada wilayah-wilayah yang terdapat kasus flu
burung dengan melibatkan segenap komponen pemerintahan dan masyarakat
2. Perlunya meningkatkan system surveilans baik
pada hewan dan manusia/masyarakat mulai dari level masyarakat secara berjenjang
yang dilakukan secara terus menerus.
3. Perlunya meningkatkan promosi kesehatan dan
edukasi kepada masyarakat khususnya kepada masyarakat atau kelompok yang
berisiko
4. Perlunya meningkatkan kapasitas terhadap
sector-sektor terkait dalam upaya kewaspadaan, kesiapsiagaan dan penanggulangan
flu burung serta dalam menghadapi kemungkinan terjadinya pandemic
5. Perlunya membangun jejaring kerjasama yang
luas dalam upaya penanggulangan flu burung mulai tingkat daerah dan ditingkat
pusat.
TUGAS MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
MATERI : FLU BURUNG
DISUSUN OLEH ;
HELENA SAHUSILAWANE
UNIVERSITAS HASANUDIN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar